Kamis, 03 Februari 2011

PENGARUH PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA TERHADAP KENAKALAN REMAJA DI DESA PONTOLO KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu.
Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Soekanto (1988:45) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa.
Hampir setiap hari kasus kenakalan remaja selalu kita temukan di media massa, dimana sering terjadi di Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan, salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Kecamatan Kwandang tahun 2006 tercatat 27 kasus perkelahian antara remaja. Tahun 2007 meningkat menjadi 13 kasus dengan melukai 4 pelajar, tahun 2008 terdapat 34 kasus kenakalan remaja. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Lebih jauh dijelaskan bahwa dari beberapa kasus pencurian selama dua tahun terakhir, 16 % di antaranya dilakukan oleh remaja, selain itu diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar.
Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60% dari 71.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30% dari 40-150.000, dan angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks  (Dep.Sos, 2004). Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi anak (Hawari, 1997). Selain itu suasana keluarga yang meninbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama  pada masa remaja. Menurut Gunarsa (1983 : 45) bahwa orang tua dari remaja nakal cenderung memiliki aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya.
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan di sekitarnya. Anak yang mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya tersebut. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
Masa remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya tentang bagaiman pendapat orang lain tentang dirinya. Pada masa tersebut kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang tentang dirinya (Pratidarmanastiti, 1991 : 182). Oleh karena itu tanggapan dan penilaian orang lain tentang diri individu akan dapat berpengaruh pada bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Remaja nakal biasanya mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan menunjukan kontrol batin yang kurang. Sifat–sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang negatif. Remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal biasanya mempunyai konsep diri lebih negatif dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah. Dengan demikian remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis dan memiliki konsep diri negatif kemungkinan memiliki kecenderungan yang lebih besar menjadi remaja nakal dibandingkan remaja yang dibesarkan dalam keluarga harmonis dan memiliki konsep diri positif.
Mencermati uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini dalam suatu penelitian dengan judul: Pengaruh Persepsi Keharmonisan Keluarga terhadap Perilaku Kenakalan Remaja di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
1.2     Identifikasi Masalah
            Mencermati uraian pada latar belakag maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.    Apakah upaya menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga dapat  mengurangi perilaku melanggar aturanbagi remaja?  
2.    Apakah kesediaan waktu bersama keluarga, dapat mengurangi perilaku membahayakan diri sendiri dan orang lain  bagi remaja?
3.    Apakah efektivitas komunikasi antar anggota keluarga, dapat mengurangi perilaku menimbulkan korban materi seperti: menipu, merampok, menjarah dan mencuri dari remaja?
4.    Apakah perilaku saling menghargai antar sesama anggota keluarga dapat mengendalikan perilaku  tawuran, dan penganiayaan dari remaja?
5.    Kualitas dan kuantitas konflik yang minim, maksudnya dalam keluarga harmonis selalu berusaha menyelesaikan setiap permasalahan dengan bijaksana dan kepala dingin.
6.    Apakah adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga, dapat meningkatkan perilaku sesuai norma yang berlaku dari remaja?

1.3  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.  Bagaimana gambaran persepsi keharmonisan keluarga di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?
2.  Bagaimana gambaran kenakalan remaja di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?
c.  Apakah terdapat pengaruh keharmonisan keluarga terhadap kenakalan remaja  di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?
1.4     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1.  Untuk mengetahui gambaran persepsi keharmonisan keluarga di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
2.  Untuk mengetahui gambaran kenakalan remaja di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3.  Untuk mengetahui pengaruh keharmonisan keluarga terhadap kenakalan remaja  di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
1.5     Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan adalah :
1.    Sebagai bahan informasi kepada masyarakat khususnya orang tua tentang kondisi kenakalan remaja dan alternatif pemecahannya di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang  Kabupaten Gorontalo Utara.
2.    Memperluas wawasan berpikir bagi penulis khususnya berbagai implementasi program PLS di Masyarakat.
4.    Bermanfaat  sebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut khusus yang meneliti lebih mendalam tentang permasalahan dalam penelitian ini.
BAB II
KAJIAN  TEORETIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1  Kajian  Teoretis
1.    Konsep Dasar Mengenai Remaja
1)    Pengertian Remaja
WHO (dalam Sarwono, 2002:23) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: (a) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. (b)  Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.(c) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Monks (1999:34) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat Suryabrata (1981: 45) membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999:112) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17-18 tahun.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja awal yang masih berusia 13 sampai 20 tahun.
2) Ciri-ciri Remaja
Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami
oleh setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Hurlock (1999:121) pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Berikut ini dijelaskan satu persatu dari ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja.
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormone tersebut Rahmawati (2005 : 132)adalah: (1) ukuran otot bertambah dan semakin kuat. (2) testosteron menghasilkan sperma dan oestrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan. (3) Munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak dan muka.
b. Perubahan Emosional.
Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999: 132). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil. Nuryoto (1992:76) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut: (1) tidak bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3) bersikap objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. (6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang  dihadapi.
c. Perubahaan sosial
Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja, Monks, dkk (1999:12) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya.
2. Kenakalan remaja
1) Definisi Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003:78).
Kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sarwono (2002:167) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana. sedangkan Helmi dan Ramdhani  (1992: 12) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Tambunan  juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal. www.e-psikologi.com.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja  adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
2) Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003: 23), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Kenakalan terisolir (delinkuensi terisolir)
Kelompok kenakalan terisolir (delinkuensi terisolir) merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut:(1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. (2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu. (3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan. (4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri-ciri perilakunya adalah 1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja. 2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya. 3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. 4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik. 5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan dan 6) Motif kejahatannya berbeda-beda. 7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikotik (delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah (1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian  keluarga,berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyianyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain. (2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran, (3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki, (4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri, (5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut: (1) tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah  bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis
terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan  tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang
menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
Sarwono (2002:192) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu: (a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain. (b) Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain. (c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas. (d)  Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu: (a) Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain, (b) Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet, (c) Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah, (d) Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspeknya menurut Sarwono  (2002:134) terdiri dari aspek perilaku yang melanggar aturan dan status, perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang mengakibatkan korban fisik.
3) Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003:71) bahwa  remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum  yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih idiot secara moral dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
c. Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti (1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan, (2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional. (3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial, (4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya, (5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
(6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya, (7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
4) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Tambunan mengatakan bahwa   lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :

a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1984:237) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dariremaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif. www.e-psikologi.com.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini Simanjuntak (1984:78) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri  mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003:72) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.
d. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003: 81) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Simanjuntak (1984:54) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50:1 (Kartono, 2003:56). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk  mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan menyebabkan timbulnya kenakalan remaja  adalah faktor keluarga yang kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja dibandingkan dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.
2. Persepsi Keharmonisan Keluarga
1) Definisi Persepsi
Mar’at (1981: 23) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Persepsi sebagai proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan. Sama halnya menurut Toha (1983:87) persepsi merupakan pemahaman individu terhadap informasi lingkungan yang diperoleh melalui proses kognitif. Selanjutnya Rakhmat (1986:91) juga mengemukakan persepsi adalah pengalaman terhadap objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menafsirkan dan menyimpulkan informasi. Walgito (1989:56) menyatakan ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya persepsi yaitu (a) keadaan individu sebagai perseptor, yang merupakan faktor dari dalam individu sendiri seperti pikiran, perasaan, sudut pandang, pengalaman masa  lalu, daya tangkap, taraf kecerdasan serta harapan dan dugaan perseptor dan (b) keadaan objek yang dipersepsi yaitu karakteristik-karakteristik yang ditampilkan oleh objek, baik bersifat psikis, fisik ataupun suasana. Proses terbentuknya persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman, sosialisasi, cakrawala dan pengetahuan. Pengalaman dan sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap objek yang dilihat sedangkan pengetahuan dan cakrawala memberi arti pada objek psikologis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan persepsi adalah proses kognitif aktif yang berupa pengalaman individual tentang lingkungan yang dipengaruhi dari dalam diri individu dan dari luar diri individu.
2) Keharmonisan Keluarga.
Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia (Kartono, 2003:34). Sedangkan menurut Hawari (1997:87) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur  dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan.
Dalam kehidupan berkeluarga antara suami istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis yaitu dengan  menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan. Basri (1999:213) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
3) Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga
Hawari (2004 : 81) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan bahagia adalah:
a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian  ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat menerimanya.

b. Mempunyai waktu bersama keluarga
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama  keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Meichati (dalam Kartono, 2003:76) mengatakan bahwa remaja akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.
d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Furhmann (dalam Kartono, 2003:76) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas.

e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan  keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.
Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Menurut Hawari (1997:92)  bahwa Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi.

4) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
a. Komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga, karena komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.
b. Tingkat ekonomi keluarga.
Menurut beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam Kartono 2003:56) menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi tidak berarti rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidak bahagianya keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh trerhadap kebahagian keluarga apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi dan inilah nantinya yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga.
c. Sikap orangtua
Sikap orangtua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan orangtua dengan anak-anaknya. Orangtua dengan sikap yang otoriter akan membuat suasana dalam keluarga menjadi tegang dan anak merasa tertekan, anak tidak diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan ada ditangan orangtuanya sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran dan merasa kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orangtuanya
tidak bijaksana. Orangtua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebas dan tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapat bimbingan dari orangtua. Kedua sikap tersebut cenderung memberikan peluang yang besar untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orangtua yang bersikap demokratis dapat menjadi pendorong perkembangan anak kearah yang lebih positif.
d. Ukuran keluarga
Menurut Kartono (2003:67) dengan jumlah anak dalam satu keluarga cara orangtua mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuh dan perlakuan efektif orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecil mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperlakukan anaknya secara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orang tua.
2.2     Kerangka Berpikir
Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, mempunyai peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada anak. Dukungan khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Konsep diri yang positif dan keluarga yang harmonis ditengarai akan mampu mencegah seorang remaja untuk cenderung melakukan kenakalan atau perbuatan yang negatif.
Secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap negatif terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil.
Adapun faktor eksternal mancakup lingkungan rumah atau keluarga, sekolah,
media massa, dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kecenderungan berperilaku delikuen pada remaja dipengaruhi oleh konsep diri individu yang bersangkutan dan peran keluarga yang didapatnya.
Adanya keharmonisan keluarga yang tinggi tersebut remaja dituntut untuk melakukan perbuatan positif yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga akan mengurangi tingkat kenakalan remaja, dan sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri yang rendah, seringkali melanggar peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat mengakibatkan terjadinya kenakalan remaja.
Berdasarkan landasan teori di atas, mekanisme psikologis yang terjadi pada permasalahan tersebut adalah bagaimana remaja yang mempersepsi keluarganya harmonis cenderung mempunyai konsep diri yang positif. Hal ini tentu berdampak semakin berkurangnya kecenderungan berperilaku nakal atau negatif, karena di dalam keluarga harmonis anak diajarkan apa itu tanggungjawab dan kewajiban, mengajarkan berbagai norma yang berlaku di masyarakat dan keterampilan lainnya agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat mencapai kematangan secara keseluruhan baik emosi maupun kematangan secara sosial. Suasana harmonis yang dirasakan remaja, secara tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya dalam hal ini konsep diri.
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah penulis paparkan di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: terdapat peran yang signifikan persepsi keharmonisan keluarga terhadap kenakalan remaja  di desa Pontolo Kecamatan Kwandang  Kabupaten Gorontalo Utara.
















BAB III
METODE PENELITIAN


3.1  Tempat  dan Waktu Penelitian
            Tempat pelaksanaan penelitian di desa Pontolo Kecamatan Kwandang  Kabupaten Gorontalo Utara.Waktu penelitian ini yaitu selama 4 (empat) bulan yaitu mulai bulan Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 dengan rangkaian kegiatan yaitu mulai dari studi pendahuluan di lokasi penelitian sampai dengan proses pembimbingan dalam penyelesaian laporan akhir hasil penelitian.
3.2  Metode Penelitian
Variabel   Y
 
Variabel   X
 
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Pengunaan metode ini dengan maksud untuk menggambarkan atau mendeskripsikan peran keharmonisan keluarga terhadap kenakalan remaja  di desa Pontolo Kecamatan Kwandang kabupaten Gorontalo Utara. Adapun disain hubungan kedua variabel dalam penelitian ini seperti berikut ini :


 

Keterangan      :
            X : Persepsi keharmonisan keluarga               
            Y : Kenakalan remaja




3.3 Variabel Penelitian
            Pada penelitian ini terdiri atas dua variabel  yaitu   variabel tergantung  yaitu kenakalan remaja  dan variabel bebas adalah persepsi keharmonisan keluarga. Adapun  penjelasan kedua variabel ini sebagai berikut:
1. Kenakalan remaja  
Kenakalan remaja  adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun. Aspek kenakalan remaja  didasarkan pada aspek-aspek kenakalan remaja yang  dikemukakan Sarwono(2002 : 91) bahwa aspek-aspeknya terdiri dari aspek perilaku yang melanggar aturan atau status, perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang mengakibatkan korban fisik. Skala kenakalan remaja  ini berbentuk cerita tentang seorang atau beberapa tokoh yang melakukan tindakan kenakalan remaja. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi kenakalan remaja  dari remaja tersebut, demikian juga  sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kenakalan remaja .
2. Persepsi keharmonisan keluarga
Persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi
dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling terbuka, saling pengertian, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
Aspek-aspek persepsi keharmonisan keluarga ini berdasarkan konsep teori  yang dikemukakan oleh Stinnet dan  Defrain (dalam Hawari, 1997). Aspek-aspeknya terdiri dari aspek kehidupan beragama yang cukup kuat, mempunyai waktu yang cukup bersama anggota keluarga, saling menghargai sesama anggota keluarga, komunikasi yang baik dan fungsional antar anggota keluarga, kualitas dan kuantitas konflik yang minim dan adanya hubungan yang erat antar anggota keluarga. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, menggunakan tiga macam skala yaitu skala kenakalan remaja  dan persepsi keharmonisan keluarga digunakan adalah skala Likert.
Adapun indikator kedua variabel diuraikan sebagai berikut:
1.    Skala Kenakalan Remaja
a.    Perilaku yang melanggar status atau aturan yaitu perilaku remaja yang mengingkari statusnya sebagai anak, mengingkari statusnya sebagai murid di sekolah dan pelanggaran-pelanggaran norma dan peraturan yang ada dimasyarakat, seperti: lari dari rumah, tidak masuk sekolah, menggangu ketentraman orang lain dan sebagainya.
b.    Perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain seperti memakai obat-obatan terlarang, melakukan seks bebas, merusak fasilitas umum, kebut-kebutan dijalan dan lain sebagainya.
c.    Perilaku yang menimbulkan korban materi seperti: menipu, merampok,
menjarah, mencuri dan lain sebagainya.
d.    Perilaku yang menimbulkan korban fisik seperti: tawuran, pemerkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan, penganiayaan, dan lain sebagainya.
Skala Kenakalan remaja  ini mempunyai pilihan jawaban yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor dalam setiap aitem berkisar dari 4 sampai dengan 1 diberikan untuk aitem yang bersifat favourable, sedangkan untuk unfavourable bergerak dari 1 sampai 4. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut.
2. Skala Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga
a.    Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga, sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut, ada suasana agamis serta norma yang berlaku dalam keluarga berlandaskan norma-norma agama.
b.    Mempunyai waktu bersama keluarga, keluarga yng harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, seperti sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak.
c.    Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga, pola komunukasi yang baik akan tercipta dalam keluarga akan tercipta apabila setiap anggota keluarga saling terbuka baik anak dengan orangtua maupun orangtua dengan orangtua.
d.    Saling menghargai antar sesama anggota keluarga maksudnya setiap anggota keluarga selalu memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan memberikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk mengeluarkan pendapatnya.
e.    Kualitas dan kuantitas konflik yang minim, maksudnya dalam keluarga harmonis selalu berusaha menyelesaikan setiap permasalahan dengan bijaksana dan kepala dingin.
f.     Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga, terutama hubungan antara orangtua dengan orangtua dan anak dengan orangtua.
Skala persepsi keharmonisan keluarga ini mempunyai pilihan jawaban yaitu: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor dalam setiap aitem berkisar dari 4 sampai dengan 1 diberikan untuk aitem yang bersifat favourable, sedangkan untuk unfavourable bergerak dari 1 sampai 4. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya.
3.4 Populasi dan Sampel  Penelitian
Populasi sebagai subjek penelitian ini adalah seluruh remaja di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, dengan karakteristik subjek sebagai berikut: (1)  Remaja awal yang berusia antara 13-20 tahun  dan belum kawin, (2) Laki- laki dan perempuan, (c)  Bukan anak tunggal, (4) Tinggal bersama orangtua.
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari anggota populasi yaitu sebesar 40% x 185 = 75 orang. Pemilihan subjek ini menggunakan teknik random sampling. Semua dusun dari Desa Polontolo Kecamatan Kwandang  ditetapkan menjadi sampel, lalu diundi masing–masing lokasi penelitian sebanyak 40%  dari anggota populasi.
3.5  Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan mengumpulkan data pada penelitian ini adalah :
1.   Angket (kuisioner)
Menurut Sugiyono (2004:162) bahwa:“Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengedarkan instrumen angket. Skor angket menggunakan skala Likert,  yaitu skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, atau persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang  suatu variabel, konsep atau gejala atau fenomena tertentu.
(Djaali dan Muljono, 2004:37-38)
2.    Studi dokumentasi
            Studi dokumentasi adalah dokumen yang terkait dengan tindakan pelanggaran remaja di Desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3.6  Teknik Analisis Data

            Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah kuantitatif dan jenis analisis yaitu (a) secara deskriptif dan (b) inferensial. Untuk jelasnya  kedua analisis ini akan  diuraikan sebagai berikut :
1.  Analisis Statistik Deskriptif

Menurut Sugiyono (2004:170) bahwa: “Analisis statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum”. Penyajian data dalam analisis deskriptif juga ditampilkan dalam bentuk tabel mean, grafik perhitungan rata-rata, median, modus standar deviasi.  
2.    Analisis Statistik Inferensial
            Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa korelasi regresi. Dalam pengujian hipotesis yang telah dirumuskan, analisis data hasil penelitian adalah dengan cara statistik. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis penelitian, maka terlebih dahulu  dilakukan uji persyaratan analisis data yaitu uji normalitas data. Dari hasil pengujian ini, jika diperoleh data dari kedua variasi yang berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dengan pasangan hipotesis dalam pengujian ini adalah :
Ho:ρ = 0       artinya tidak terdapat pengaruh  yang signifikan prsepsi keharmonisan rumah tangga dengan  kenakalan remaja di desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
Ha:ρ ¹ 0,  artinya terdapat pengaruh yang signifikan persepsi keharmonisan rumah tangga  dengan kenakalan remaja di desa Pontolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.















DAFTAR PUSTAKA

Basri, H. 1999. Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama. (edisi empat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Sosial. 2004. Penelitian Model Pemberdayaan keluarga Dalam Mencegah Tindak Tuna Sosial Oleh Remaja Perkotaaan. http://www.depsos.go.id/Balitbang

Djaali, H dan Pudji Muljono, 2004. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta. Intra Media.

Gunarsa, S. 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Penerbit BPK Gunung Mulia. Jakarta.

Hawari, D. 1997. Alquran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental. Jakarta: Dana Bhakti Yasa.

Helmi, A.F dan Ramdhani, N. 1992. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kemampuan Bergaul. Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan. (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Kartono, K. 2003. Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja. Jakarta:Rajawali Perss.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Monks, F.J,K dan  Haditono, S.R. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nuryoto, S. 1992. Kemandirian Remaja ditinjau dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin dan Peran Jenis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Pratidarmanastiti, L. 1991.Perkembangan Moral Remaja Delinkuen dan Non Delinkuen. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Rakhmat, J. 1986. Psikologi Komunikasi. Bandung: CV. Remaja Karya.

Rahmawati, A. 2005. Hubungan Antara konsep Diri dan Persepsi Tentang Peran Ganda Ibu Bekerja Dengan ketakutan Akan Sukses Remaja Perempuan Di sekolah Kondukasi dan Non-Koedukasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Edisi Enam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Simandjuntak, B. 1984. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Penerbit Alumni.

Soerjono Soekanto. 1988. Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta.

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. Alfa Beta.

Suryabrata, S. 1981. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press.

Tambunan, R. 2001. Perkelahian Pelajar. www.e-psikologi.com.

Toha, M. 1983. Perilaku Organisasi. Jakarta: CV. Rajawali.

Walgito, B. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar